equityworld futures pusat
Monday, March 16, 2015

Monday, March 16, 2015
Jangan Tangisi Rupiah, Pelemahan Sudah Lewati Rp 13.000/US$
Jangan Tangisi Rupiah, Pelemahan Sudah Lewati Rp 13.000/US$
Tidak dapat dibantah, mayoritas masyarakat kita menyakini penguatan rupiah adalah suatu hal yang baik. Bahkan menjadi ukuran, untuk menilai keberhasilan pemerintah.

Selain memacu inflasi, kejatuhan rupiah dikuatirkan akan memicu arus keluar dana asing. Malah ada yang berpendapat, pelemahan rupiah yang sudah melewati Rp 13.000/US$ bakal memicu krisis seperti 1997.

Kepala Ekonom sekaligus Direktur Hubungan Investor Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat, memberi ulasan dengan tujuan edukasi, supaya Indonesia terhindar dari krisis seperti 1997.

"Untuk itu kita harus merelakan rupiah melemah. Sebab, setelah mencermati konstelasi makro ekonomi global, kita sesungguhnya tengah memasuki siklikal era penguatan dolar AS, seperti yang pernah terjadi menjelang krisis 1997," kata Budi dalam keterangan tertulis, Senin (15/3/2015).

Menurutnya, masyarakat tidak perlu khawatir dengan dampak inflasi akibat pelemahan rupiah. Sebab dunia sedang kelebihan kapasitas. "Harga beras global saja mengalami penurunan tajam. Bahkan China mengekspor deflasi," ujar Budi.

Tidak perlu khawatir juga arus modal asing keluar, sebab Eropa dan Jepang mengekspor likuiditas. Pelemahan dan volatilitas rupiah menjadi semacam rem untuk meredam hasrat perusahaan domestik yang berpenghasilan rupiah berutang dolar, yang sudah pesat selama tiga tahun terakhir.
Setelah selama 2014 menguat 12%, indeks dolar global DXY sepanjang tahun ini berjalan kembali menguat sekitar 10%. Tren penguatan dolar AS terutama terkait dengan prospek ekonomi AS yang jauh lebih cerah dibanding Jepang dan Eropa.

"Hal ini meningkatkan permintaan dolar global untuk berinvestasi di AS. Dolar AS diduga semakin menguat apabila the Fed yang lebih dulu melakukan quantitative easing bakal menormalisasi suku bunga," ujarnya.
Sementara di lain sisi, bank sentral Jepang dan Eropa terus menggelar quantitative easing, seperti yang ditunjukkan oleh peningkatan posisi aset bank sentral.

Yen diduga akan terus melemah, akibat penciptaan likuiditas yen yang jauh melebihi kebutuhan domestik di Jepang. Pemikiran ini berdasarkan rasio total aset Bank of Japan terhadap PDB yang sekitar 60%. Angka ini lebih dari dua kali lipat rasio untuk The Fed dan ECB (bank sentral Eropa).

Kelebihan yen tersebut akan 'diekspor', seperti tercermin pada aksi pembelian institusi Jepang untuk perusahaan dan surat berharga negara sekawasan selain juga pinjaman dalam bentuk yen.
"Investor Jepang sendiri menyikapi kejatuhan yen dengan suka cita seperti ditunjukkan oleh kenaikan Indeks Nikkei selama tiga tahun terakhir. Sangat bisa jadi pemerintah Jepang di bawah Perdana Menteri Abe melakukan quantitative easing yang super masif ini bukan hanya alasan ekonomi. Tetapi juga politik pertahanan untuk mengantisipasi kebangkitan hegemoni China, jiran (tetangga) yang punya luka sejarah kepada Jepang," ujar Budi.

Sementara itu, kata Budi, ECB mulai Maret ini akan menggelar quantitative easing senilai US$ 1,2 triliun untuk menghindari memburuknya risiko deflasi di kawasan Euro. Tambahan likuiditas ini yang menyebabkan yield obligasi negara di kawasan Euro, dan juga T-bond AS, terjaga rendah.
Menurut Budi, dampak penguatan dolar AS terhadap negara berkembang, termasuk rupiah, sangat dipengaruhi oleh daya saing perekonomian yang ditunjukkan oleh posisi defisit neraca berjalan.

"Negara yang mengalami defisit neraca berjalan, seperti Indonesia, jelas membutuhkan dana pembiayaan defisit. Secara teoritis, mata uangnya akan cenderung melemah," jelasnya.

Defisit neraca berjalan sendiri menunjukkan permintaan valas yang lebih besar, ketimbang penawaran valas. Jadi sewajarnya mata uang bakal melemah terutama bila investor asing enggan membiayai melalui pembelian surat berharga dan investasi (capital account surplus).

"Akibatnya pembiayaan defisit dilakukan dengan kombinasi melepas cadangan devisa, menjual aset negara (privatisasi) dan menerbitkan surat utang lebih banyak," katanya.

Sepanjang tahun berjalan, mata uang lira Turki melemah relatif paling tajam dibanding negara berkembang lainnya. Sebab Turki mengalami defisit anggaran sekitar 5% PDB atau sekitar dua kali lipat Indonesia. Relatif stabilnya mata uang PHP (peso Filipina) dan THB (baht Thailand) terkait posisi neraca berjalan kedua negara jiran itu yang surplus.

"Jadi, bila kita menginginkan mata uang kita stabil atau menguat, maka kuatkan tekad untuk menjadi negara yang produktif dan kompetitif. Ingat saja, selama 5 tahun terakhir kita mengalami lonjakan defisit neraca minyak yang memerlukan pembiayaan dolar," ucap Budi.

Di mengatakan, secara cross currency, rupiah mengalami pelemahan terhadap yuan China dan baht Thailand dengan persentase yang relatif sebanding dengan pelemahan rupiah terhadap dolar AS. Namun di lain sisi, rupiah mengalami penguatan terhadap yen (sekitar 3%) dan euro (sekitar 10%).

Bank for Internasional Settlement (semacam bank sentral untuk para bank sentral) secara rutin mempublikasikan real effective exchange rate index (REER index). Indeks ini pada dasarnya menggabungkan berbagai mata uang suatu negara dengan para mitra dagang utama, dan lalu disesuaikan dengan perbedaan tingkat inflasi antar negara tersebut.

REER index dianggap kompetitif bila di bawah 100. Bayangkan bila rupiah melemah 10% sementara tingkat inflasi Indonesia terhadap mitra dagang bisa dijaga lebih rendah. Produk ekspor Indonesia akan lebih kompetitif, tidak hanya karena rupiah terdepresiasi, tetapi karena upah pekerja, yang cenderung mengikuti inflasi, juga lebih murah.

Per akhir Januari saat kurs rupiah nominal mencapai Rp 12.621 per dolar, indeks REER untuk rupiah sebesar 91,9. Secara teoritis rupiah dapat dibilang kompetitif.

"Tidak heran bila pada sejumlah produk ekspor barang manufaktur yang padat karya, Indonesia mencetak surplus terhadap sejumlah mitra datang, termasuk AS," katanya.

Walau secara REER indeks rupiah dinilai kompetitif, tapi neraca perdagangan dan neraca berjalan Indonesia secara keseluruhan masih defisit. Hal ini terjadi karena Indonesia masih menggantungkan diri pada ekspor komoditas primer, seperti batu bara, CPO, dan karet, yang permintaannya tetap menurun sejalan dengan perlambatan ekonomi global.

"Itu sebabnya mendesak bagi pemerintah Presiden Jokowi untuk memacu revitalisasi industri dan program hilirisasi yang penting untuk meningkatkan nilai tambah ekspor. Untuk mendukung kebijakan ini, pemerintah harus mempercepat penyediaan infrastruktur dasar yang menurunkan biaya logistik. Dukungan pembiayaan dengan suku bunga yang lebih terjangkau memang diperlukan," pungkasnya.

0 comments:

Post a Comment