Panglima TNI Jenderal Moeldoko meminta Presiden Jokowi menghidupkan 
kembali jabatan Wakil Panglima TNI. Jabatan ini dulu sudah dihapus oleh 
Gus Dur semasa dia menjabat.
Bagaimana cerita Gus Dur menghapus posisi nomor dua di Mabes TNI itu?
Setelah
 dilantik sebagai presiden, kebijakan-kebijakan yang dilakukan 
Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur kerap berbenturan dengan 
Tentara Nasional Indonesia (TNI). Secara sepihak, Gus Dur kerap kali 
mengotak-atik jabatan-jabatan penting tanpa melalui diskusi atau 
menyampaikan alasannya.
Dikutip dari buku 'Mengawali Integrasi 
Mengusung Reformasi: Pengabdian Alumni Akabri Pertama 1970' terbitan 
Kata Hasta Pustaka tahun 2012 yang disusun oleh Sudradjat, Gus Dur 
dinilai tidak memiliki kecocokan dengan Panglima TNI yang saat itu masih
 dijabat oleh Jenderal Wiranto.
Gus Dur menganggap, Wiranto 
sebagai sisa produk pemerintahan Orde Baru. Meski begitu, Gus Dur sempat
 menyetujui usulannya untuk memasukkan perwira AD sebagai Menteri 
Pertambangan dan Energi guna menengahi perebutan jabatan itu dari 
kalangan partai politik. Dipilihlah Letjen Susilo Bambang Yudhoyono 
sebagai Mentamben.
Gus Dur akhirnya memilih Laksamana TNI Widodo 
AS, menggantikan Wiranto yang memasuki masa pensiun. Gus Dur berharap 
Widodo loyal, namun setelah menduduki jabatan tertinggi dalam angkatan 
bersenjata Indonesia, Widodo malah membuat gertakan terhadap Gus Dur. 
Dia mendesak Gus Dur untuk mengganti beberapa jenderal di posisi kunci.
Hal
 itu diketahui dari bocornya 'Dokumen Bulak Rante'. Dalam dokumen itu, 
Widodo AS bersama sejumlah petinggi TNI lainnya, yakni Agus 
Wirahadikusumah, Rahman Toleng, Bondan Gunawan dan beberapa aktivis 
lainnya menggelar pertemuan di kediamannya, kompleks perumahan perwira 
Bulak Rante,  Jakarta Timur. Dia meminta presiden menggeser atau memecat Panglima Kostrad.
Gus
 Dur yang baru pulang dari lawatannya di Amerika Serikat kesal mendapati
 kondisi tersebut. Dia pun langsung menawarkan kompromi sekaligus 
melakukan mutasi besar-besaran di tubuh TNI. Mutasi jabatan ini terjadi 
hingga dua kali, yakni pada September dan Oktober 2000.
Gus Dur 
yang tak mau mengalah di tengah gertakan perwira TNI ini memutuskan 
untuk menghapus jabatan Wakil Panglima TNI yang saat itu dijabat oleh 
Jenderal TNI Fachrul Rozi. Rencana ini sebenarnya dimaksudkan untuk 
sekaligus mengganti Panglima dan Kapolri yang dianggapnya berseberangan.
Fachrul
 mengetahui rencana tersebut, namun dia enggan mencari-cari dukungan 
dari pihak lain, termasuk menolak masukan Widodo AS untuk menemui Wakil 
Presiden Megawati Soekarnoputri yang dinilai tak setuju dengan rencana 
presiden itu.
"Biar saja Bapak Panglima. Kalau presiden tidak ada trust
 (kepercayaan) kepada saya, buat apa saja di jabatan tersebut," tegas 
Fachrul kepada Widodo AS. Alhasil, melalui Keppres tertanggal 20 
September Fachrul resmi dicopot dan jabatannya dihapus saat itu juga.
Meski
 dipecat secara sepihak, Fachrul mengaku menerima keputusan itu dengan 
besar hati. "Bagaimana pun saya jadi bintang empat, itu sudah tinggi. 
Enggak ada lagi bintang setelah itu."
Ternyata, setelah menghapus
 jabatan tersebut, ternyata Gus Dur masih mencla mencle. Gus Dur lantas 
memanggil Sekjen Dephankam Johny Lumitang dan akan menunjuknya menjadi 
Wakil Panglima TNI. Dengan tegas Johny menolak jabatan tersebut 
mengingat adanya perang dingin yang terjadi antara TNI dengan presiden. 
Apalagi jabatan itu sudah dihapus Gus Dur, masak dihidupkan lagi dengan 
motif politik.
Maka Johny mengaku rela membuang kesempatan menjadi jenderal bintang empat demi meredakan konflik.
"Saya menolak jabatan Wakil Panglima TNI, kalau gara-gara saya TNI pecah," tegasnya.
Sejak
 itu, tidak ada lagi jabatan Wakil Panglima TNI sampai sekarang. Namun 
kini, Jenderal Moeldoko kembali mengajukan permintaan agar posisi 
tersebut kembali diaktifkan.
 







 
 
0 comments:
Post a Comment