equityworld futures pusat
Saturday, July 12, 2014

Saturday, July 12, 2014

Piala dunia dan pemilu presiden sebenarnya memiliki kesamaan: hasil akhir, siapa yang menjadi juara,ditentukan di laga final resmi. Final piala dunia digelar pada 14 Juli 2014 dini hari dan final penghitungan suara pilpres digelar pada 22 Juli 2014.

Menanti siapa yang menjadi juara tentu sangat menegangkan dan mengasyikkan, terutama bagi pendukung dua pihak yang berhadapan. Apalagi semua pihak masih optimistis untuk menjadi pemenang di detik terakhir. Namun setiap penentuan juara tidak bisa dilakukan di luar arena resmi yang mempertandingkan dua pihak yang berkepentingan.

Kita tahu sejumlah rumah taruhan lebih mengunggulkan Jerman untuk menjadi juara dibandingkan Argentina dalam final Piala Dunia. Penentuan siapa yang diunggulkan rumah taruhan didasarkan tidak asal-asalan, namun melalui pengamatan statistik perjalanan kedua tim menuju laga final. Sebut saja Bet365 yang menyodorkan koefisien 13/10 untuk kemenangan Jerman dan Argentina menang dengan koefisien 5/2. Bwin menyodorkan koefisien 13/10 untuk Jerman.

Namun terlalu pagi jika kemudian Jerman dan pendukungnya lantas mendeklarasikan diri bakal juara, apalagi sampai mengampanyekan: 'hanya kecurangan dan ketidakbecusan wasit yang bisa mengalahkan kami'. Terlalu dini pula bagi Argentina dan para pendukungnya untuk menyerah sebelum wasit membunyikan peluit akhir di laga final. Apapun masih bisa terjadi.

Statistik hanya mengemukakan gejala dan fenomena, dengan tetap mengandung kemungkinan: bisa benar, bisa keliru. Mereka yang bekerja di dunia statistik tidak boleh berbohong, itu benar. Namun mereka juga tentu tahu, haram hukumnya memonopoli kebenaran dan menempatkan statistik sebagai kebenaran primer. Jika angka statistik ditempatkan sebagai kebenaran mutlak, maka yang terjadi adalah penggunaan statistik sebagai alasan pembenar dan 'truth claim', sebagaimana yang dilakukan pelatih Brasil Luiz Felipe Scolari.

Setelah Brasil dipermalukan 1-7 oleh Jerman di laga semifinal, Scolari menggelar jumpa pers dan menunjukkan angka statistik Selecao selama di bawah asuhannya. Intinya: tidak jelek-jelek amat. Dari 28 laga, Brasil menang 19 kali, enam kali seri, dan tiga kali menelan kekalahan.

Namun statistik tidak cukup untuk menutupi fakta primer, bahwa Brasil gagal merebut gelar juara dunia di rumahnya sendiri. Statistik yang bagus tidak boleh dijadikan alat klaim bahwa Brasil lebih layak menjadi juara dunia, karena pada pertandingan sesungguhnya yang menentukan, Thiago Silva dan kawan-kawan memang kalah.

Apa yang terjadi di Piala Dunia seharusnya menjadi pelajaran bagi dua pasangan kandidat presiden dan wakil presiden Indonesia. Saat ini baik kubu Joko Widodo-Jusuf Kalla maupun Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sama-sama mengklaim diri sebagai pemenang pilpres berdasarkan hasil hitung cepat.

Saling klaim ini tidak menghasilkan apa-apa selain merasa diri paling benar dan menang. Semua pihak seharusnya tetap bersabar, menanti peluit akhir dibunyikan Komisi Pemilihan Umum pada 22 Juli 2014. Statistik bukan Tuhan, statistik bukan dewa, dan bisa saja keliru, walau lembaga sigi yang melakukan hitung cepat memiliki reputasi tak tercela, beritikad baik, dan mengklaim diri netral.

I. Fenomena Mesir: Jokowi Menangi Exit Poll, Prabowo Menangi Real Count
Kita tentu masih ingat, Tim Pemenangan Pasangan Jokowi-JK mengklaim kemenangan 57,02 persen melawan 42,98 persen dalam pemungutan suara di Mesir. Total daftar pemilih tetap di sana 3.308 orang, dan sampel yang diambil sebanyak 618 orang. (Baca Klaim Kubu Jokowi, Calonnya Menang di Beberapa Negara).

Namun, dalam hasil hitung nyata yang dilakukan panitia pemilihan luar negeri (PPLN), Prabowo-Hatta menang di Mesir dengan persentase meyakinkan: 70,2 persen. Bahkan, secara keseluruhan di kawasan Timur Tengah, Prabowo-Hatta unggul 52,82% dengan suara 13.224 suara, dan Jokowi-JK meraih 46,42% suara arau 11.623 suara. (Baca Prabowo-Hatta Menang Mutlak di Mesir)

Betapa jauhnya hasil statistik exit poll dengan hasil hitung nyata di Mesir!

Jauhnya perbedaan hasil hitung nyata dengan statistik exit poll ini tak akan jadi masalah, jika Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK bisa memahami, bahwa hasil hitung nyata resmi yang menjadi acuan. Namun bila klaim statistik exit poll atau hitung cepat ditelan mentah-mentah sebagai kebenaran primer, persoalan bisa muncul di sini. Apalagi jika kemudian muncul jargon 'hanya kecurangan yang bisa mengalahkan kami', maka secara tak langsung akan mendelegitimasi aparatus negara yang berwenang menjadi 'wasit' dalam pertandingan pilpres.

Perbedaan exit poll dan hasil hitung nyata pemilu presiden di tempat pemungutan suara di Mesir seharusnya menjadi landasan kesadaran bagi kita untuk memahami hasil hitung cepat di Indonesia. Logika sehat bertanya: jika 618 sampel saja gagal menjelaskan realitas pilihan politik 3.308 pemilih di sana, bagaimana kita bisa menjamin jumlah sampel hitung cepat yang rata-rata dua ribu TPS bisa menjelaskan realitas pilihan politik ratusan juta rakyat Indonesia?

Ada empat lembaga sigi yang memenangkan Prabowo-Hatta, dan delapan lembaga yang memenangkan Jokowi-Jusuf Kalla dalam hitung cepat. Baiklah, sementara waktu, mari kita abaikan saja empat lembaga sigi yang memenangkan Prabowo-Hatta, karena jumlahnya lebih sedikit daripada yang memenangkan Jokowi-JK.

Namun, kita tahu sejumlah lembaga sigi terhormat yang memenangkan Jokowi-Jusuf Kalla (dan sebagian digunakan dasar untuk mengklaim kemenangan), tidak semuanya memiliki selisih persentase statistik kemenangan yang sama. Mari kita simak:  RRI memenangkan Jokowi-JK dengan selisih 5,2 persen atas Prabowo-Hatta, Litbang Kompas memenangkan dengan selisih 4,68 persen, SMRC 5,82 persen, LSI 6,6 persen, Indikator Politik 5,88 persen, Poltracking 6,74 persen, CSIS-Cyrus 3,98 persen, dan Populi Center 1,88 persen.

Enam lembaga sigi memenangkan Jokowi-JK atas Prabowo-Hatta dengan selisih suara antara 4,68 - 6,74 persen, satu lembaga memenangkan Jokowi dengan selisih 3,98 persen, dan satu lembaga memenangkan dengan selisih 1,88 persen.

Apa yang bisa dibaca dari sini? Benar, semua lembaga sigi itu memenangkan Jokowi-JK. Namun rentang persentase selisih suara antarkandidat yang begitu besar pada hasil hitung cepat delapan lembaga ini menunjukkan, tidak ada yang bisa memastikan berapa sebenarnya persentase selisih kemenangan Jokowi-JK dengan akurat. Padahal margin error atau tingkat kesalahan semua lembaga survei itu sekitar satu persen, yang berarti tingkat kepercayaan terhadap hasil hitung cepat masing-masing lembaga sangat tinggi.

Bandingkan dengan sejumlah hitung cepat pada pemilu kepala daerah atau pemilu presiden sebelumnya. Rata-rata lembaga survei menyajikan selisih persentase kemenangan suara satu kandidat atas kandidat lain relatif sama dan tak terlalu jauh.


II. Populi Center Tak Berani Putuskan Pemenang Pilpres
Hasil hitung cepat Populi Center patut dicatat. Lembaga ini adalah satu-satunya lembaga sigi, yang kendati hasil hitung cepatnya memenangkan Jokowi-JK, namun tidak berani memastikan siapa pemenang pilpres. Ini dikarenakan selisih suara dua pasang kandidat terlalu tipis, yakni 1,88 persen. Sementara margin error atau tingkat kesalahan hitung cepat itu 1 persen.

Tak heran saat lembaga survei lain dengan gagah perkasa berani menyatakan bahwa Jokowi-JK adalah pemenang pilpres, Populi Center lebih berhati-hati. "Kita sebaiknya menanti hasil hitung real count Komisi Pemilihan Umum," kata Jamal Baktir, Koordinator Wilayah VII Populi Center, saat dihubungi via ponsel, Rabu (9/7/2014) malam.

Menurut Jamal, pemilu presiden kali ini berbeda dengan pemilu presiden sebelumnya. "Kali ini hanya ada dua kandidat dan head to head. Ini membuat ada sebaran sampel polling basis pemilih Jokowi dengan basis pemiih Prabowo luas dan beririsan, dan ini susah diidentifikasi," katanya.

Artinya sampel TPS yang diambil belum tentu merepresentasikan sepenuhnya hasil pemilu, karena terlalu luasnya persebaran basis dukungan itu. Perbedaan hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei, menurut Jamal, bisa jadi dikarenakan luasnya persebaran basis dukungan dua calon yang dijadikan sampel tadi.

Kita tentu tak boleh sembrono menganggap suara Populi Center yang berbeda dengan suara lembaga-lembaga sigi itu adalah keliru. Bagaimana kita bisa memastikan bahwa Populi Center keliru dan lembaga sigi lainnya benar, sementara selisih persentase suara kemenangan Jokowi-Jk atas Prabowo-Hatta sangat tinggi keberagamannya?

Lagipula, Populi Center bukan lembaga kacangan jika dilihat dari profilnya. Ia adalah lembaga terhormat yang memiliki reputasi baik selama ini. Lembaga ini sudah mendapat sertifikat dari KPU (047/LS-LHC/KPU-RI/III/2014) untuk mengadakan survei dan hitung cepat. Sebelumnya Populi Center aktif dalam survei opini publik dan quick count Pileg 2014.

Orang nomor satu di Populi Center adalah Nico Harjanto, yang sejak Desember 2013 menjabat ketua Persatuan Survei Opini Publik Seluruh Indonesia (Persepi). Ia mendirikan Yayasan Populi Indonesia yang menaungi Populi Center. Nico menyelesaikan studi pascasarjana (MA) bidang politik di Ohio University dan Ph.D di Northern Illinois University.


III. Faktor Politik: Lembaga Sigi Dukung Capres Tertentu
Hasil hitung cepat Populi yang memenangkan Jokowi-JK (50,94 persen) atas Prabowo-Hatta (49,06 persen) dinilai masuk akal oleh pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah, Pangi Syarwi Chaniago. "Selisihnya tidak terlalu jauh alias tipis satu persen. Nah, yang jadi pertanyaan retorisnya kenapa hasilnya bisa terpaut jauh antara Populi Center dan lembaga-lembaga yang memenangkan Jokowi-JK lainnya," katanya, sebagaimana dikutip Rakyat Merdeka Online.

Di luar masalah metodologi, dalam wawancara via ponsel, Jamal Baktir mengakui, bahwa tak menutup kemungkinan, keberpihakan politik peneliti lembaga survei terhadap calon tertentu juga menjadi salah satu faktor yang membuat perbedaan hasil hitung cepat.

"Implikasinya pada penentuan sebaran sampel yang kurang merata," kata Jamal. Ini akhirnya membuat tingkat keterwakilan populasi basis pendukung kedua kandidat presiden dalam survei menjadi rendah.

Pernyataan Jamal ini tak berlebihan. Manajer Riset Pusat Kajian Politik (Puskapol) UI, Dirga Ardiansa, sebagaimana dikutip Republika.co.id, menyatakan, sejauh ini hanya ada dua lembaga survey yang tidak rangkap menjadi lembaga konsultan politik. "Dari 12 lembaga survey yang menyelenggarakan quick count, hanya ada dua lembaga yang tidak merangkap menjadi konsultan politik, yaitu RRI dan Kompas," katanya, dalam konferensi pers di Kampus FISIP UI Depok, Jumat (11/7/2014) sore.

Sementara 10 lembaga survei lainnya merangkap sebagai konsultan politik capres-cawapres tertentu. Bahkan ada yang menjadi tim sukses. Belum ada kode etik yang mengatur keterlibatan lembaga survei sebagai konsultan politik dan tim sukses pada saat bersamaan. Namun tentu saja pada akhirnya ini menyisakan pertanyaan kritis terhadap mereka: bagaimana mereka bisa menjamin tidak ada keterlibatan preferensi politik dalam pelaksanaan metodologi hitung cepat?


IV. Menyandera KPU, Membahayakan Demokrasi
Dalam suatu kesempatan pada medio September 2013 usai pemilu gubernur Jawa Timur, Direktur Pusat Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (Pusdeham) Universitas Airlangga M. Asfar mengatakan, dengan adanya sejumlah lembaga survei yang mengadakan hitung cepat, masyarakat menjadi tahu bahwa ada instrumen modern untuk mengukur perolehan suara lebih awal.

"Ini bagian dari pendidikan politik agar masyarakat memandang politik secara rasional. Kalau mau memprediksi hasil pemilu tidak lari ke dukun. Kita belajar untuk mempercayai instrumen modern itu, agar orang tak mudah mengklaim bisa membawa sekian orang, mewakili sekian kelompok, yang kalau ternyata dalam survei dia tak punya pengaruh apa-apa," kata Asfar.

Sementara, dalam salah satu artikelnya yang terbit pada 2008 di media Sumatra Ekspres, Saiful Mujani, yang saat itu menjadi direktur eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), mengatakan, "Quick count lahir dari kebutuhan untuk menjaga agar penghitungan suara pemilu atau Pilkada tidak curang. Kalaupun ada kecurangan, diharapkan tidak mengubah siapa yang seharusnya menang atau kalah.".

Dalam konteks ini, quick count menjaga suara pemilih; membantu agar proses pemilu atau pilkada berlangsung secara jujur dan adil. "Bukan soal siapa menang atau siapa kalah," kata Saiful.

Bukan soal siapa menang atau siapa kalah. Pernyataan ini seharusnya menjadi kunci, bahwa hitung cepat bukanlah alat untuk melakukan klaim kemenangan dengan mengabaikan hasil hitung nyata yang dilakukan lembaga resmi. Hitung cepat adalah alat kontrol, dan bukan alat delegitimasi terhadap lembaga resmi seperti Komisi Pemilihan Umum yang tengah menjalankan proses penghitungan nyata.

Orang baik adalah orang yang adil dan tidak selalu berprasangka buruk terhadap pihak lain, yang dalam konteks ini adalah KPU. Orang baik juga percaya, bahwa selain kecurangan yang bisa mengalahkannya, ada takdir Tuhan yang hanya bisa diketahui setelah berikhtiar. Oleh sebab itu, orang Jawa punya nasihat bagus kepada siapapun: ojo ndisiki kerso, jangan mendahului kehendak Tuhan.

Saiful sendiri dalam artikel tersebut menyatakan, perbedaan antara quick count dengan hasil hitung nyata bisa menjadi bahan untuk dilakukan penyelidikan lebih lanjut untuk menegakan kebenaran dari hasil pemilu.

"Penyelenggara quick count dan proses penghitungan oleh KPU harus diperiksa ulang dengan melibatkan ahli dan petugas berwenang," katanya. Artinya, bukan hanya KPU yang berpotensi keliru, namun penyelenggara quick count pun berpeluang khilaf.

Quick count tidak boleh dijadikan alat untuk menyandera KPU, seakan-akan jika tak sesuai dengan hasil hitung cepat, maka ada yang tidak beres dari hasil hitung nyata. Menyandera dan mendelegitimasi KPU sama saja membahayakan proses demokrasi yang sedang berlangsung. Ini sama saja dengan meruntuhkan sendi-sendi kepercayaan terhadap negara.

Alangkah baiknya jika energi para kandidat dicurahkan untuk mengawasi proses rekapitulasi suara sejak dari bawah hingga pusat, dan tidak sibuk menuduh KPU bekerja tidak profesional atau curang.

Jadi sekali lagi, marilah kita belajar bersabar seperti tim-tim di Piala Dunia dan para pendukung mereka. Hasil akhir ditentukan dalam sebuah laga resmi dan setelah wasit meniup peluit akhir. Bukan oleh prediksi statistik rumah judi.

0 comments:

Post a Comment