Setelah ketegangan dan pertikaian yang memuncak pada Pemilihan Umum Presiden 2014 di antara dua kubu pasangan capres/cawapres Joko Wododo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, muncul ajakan islah (rekonsiliasi) yang ditawarkan presiden terpilih Joko Widodo.
Ajakan islah Joko Widodo yang akrab disapa Jokowi itu dinilai sebagai
bentuk kedewasaan berpolitik di era demokrasi partisipatif ini.
Pidato pertama Jokowi pascapenetapan sebagai Presiden terpilih oleh
Komisi Pemilihan Umum dinilai banyak pihak sangat bernuansa
rekonsiliasi. Jokowi, di antaranya, mengucapkan terima kasih kepada
Prabowo, meski sampai kini capres nomor urut satu itu belum juga legowo
dan malah membuat tim perjuangan setelah menolak pelaksanaan pilpres.
Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, menganggap wajar
jika kubu Prabowo belum legowo. Ada mekanisme mempertanyakan hasil
pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK). Ini merupakan tradisi yang juga
terjadi hampir di 90 persen pilkada. Namun, tradisi ini dipandang perlu
diubah. Prabowo juga semestinya tak melempar pernyataan menolak
pelaksanaan pilpres.
Koalisi Merah-Putih bahkan kemudian mengajukan gugatan ke MK dengan
klaim terjadi kesalahan hitung suara. Prabowo-Hatta mengklaim menang
dalam pilpres dengan jumlah suara 67.139.153 atau 50,26 persen.
Sedangkan Pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla mendapatkan 66.435.124 suara
atau 49,74 persen.
Berkas Permohonan Perselisihan Hasil Pilpres sudah diserahkan kepada
MK 25 Juli lalu. Persidangan perdana atas gugatan tersebut akan digelar
di MK pada 6 Agustus 2014.
“Sebenarnya ada ciri khas dalam pidato Jokowi. Saya pikir sudah
muncul nuansa rekonsiliasi ketika ucapan terima kasih pertama kepada
Prabowo Subianto, dan (Jokowi) menyatakan bahwa ini akhir dari sebuah
pertarungan dan awal dari rekonsiliasi, ini mendasar,” kata Yunarto.
Menurut dia, sikap Jokowi ini menunjukkan bahwa pembangunan bangsa
dan demokrasi itu harus partisipatif dan bersama-sama. Dia mengajak
seluruh elemen bangsa bersatu. Ini ciri khas pemimpin yang ingin bekerja
sama dan memberdayakan masyarakat.
Ajakan islah ini dinilai pengajar ilmu komunikasi di Unpad, Bandung
memberikan beberapa pendidikan politik. Pertama, lemahnya institusi
penyelenggara dan pengawas pemilu menyebabkan peran para kontestan
semakin penting untuk meyakinkan konstituennya bahwa konstetasi harus
diselesaikan di bilik suara dan tidak di tempat lain.
“Kedua, gesekan di akar rumput dengan isu agama, ras, dan bahkan
komunisme membutuhkan suri tauladan dari para kontestan bahwa semua isu
yang berpotensi memecah-belah bangsa harus dihentikan dan digantikan
dengan mengarahkan energi di akar rumput demi partisipasi politik yang
positif,” katanya.
Ketiga, ujarnya, mesin-mesin oligarki serta elit politik di balik
kedua kandidat yang sudah bertaruh habis-habisan untuk memenangkan
jagoannya, perlu disadarkan, bahwa jagonya kini lebih memilih keutuhan
bangsa daripada kepentingan segelintir kelompok.
Pengamat politik dan dosen Jurusan Politik, FISIP Universitas Syiah
Kuala, Aryos Nivada Nangroe Aceh Darussalam juga sependapat bahwa
langkah rekonsiliasi merupakan bagian dari tahap awal, serta pondasi
penting membangun hubungan dan keterlibatan aktif dalam membawa
perubahan dan kemapanan segala sektor baik politik, ekonomi, dan
lainnya.
Menurut Aryos, rekonsiliasi juga mempermudah kerja-kerja melayani
rakyat dalam menjalankan fungsi dan perannya sebagai seorang presiden
dan wakil presiden di pemerintahan. Selain itu, rekonsiliasi akan
semakin memperkuat konsolidasi dan sinergisasi antara para pendukung
kedua kandidat presiden dalam memajukan Indonesia.
Sikap kenegarawanan
Sementara itu Wakil Ketua Gerakan Pemuda Ansor Jawa Timur, Abdus
Salam mendukung wacana islah nasional oleh Nahdlatul Ulama (NU) setelah
penghitungan resmi Pilpres 2014. Rekonsiliasi diperlukan guna
menghindari perpecahan antartokoh, terutama yang terlibat pada
masing-masing kubu capres-cawapres.
Wacana islah nasional pertama kali dilontarkan Ketua PWNU Jatim KH
Hasan Mutawakkil Alallah, dengan meminta kepada Prabowo maupun Jokowi
agar tidak jumawa jika menang dan legawa bila kalah.
Salam berpendapat, islah nasional diperlukan karena perpecahan
antartokoh bisa menyebar hingga tataran bawah, terutama para pendukung.
“Pilpres kali ini adalah momentum bagi Jokowi maupun Prabowo, juga tokoh
penyokong keduanya, untuk menunjukkan sikap kenegarawanan.”
Bagaimanapun, katanya, Prabowo dan Jokowi adalah putra terbaik bangsa
yang harus memberikan contoh berdemokrasi yang baik kepada rakyat.
Dengan demikian, ketegangan akibat persaingan harus dihapus pasca
pengumuman resmi oleh KPU. “Sikap kenegarawanan itu salah satunya
menerima kekalahan demi utuhnya bangsa dan negara,” katanya.
Rekonsiliasi nasional pasca-Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
(Pilpres) 2014 menurut Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB)
DPR, Marwan Jafar, merupakan keniscayaan. Seluruh komponen bangsa
diharapkan bersatu untuk menjadikan Indonesia lebih baik.
“Proses pilpres sudah selesai. Mari kita rekonsiliasi nasional demi
seluruh bangsa, negara dan rakyat yang kita cintai,” kata Marwan sambil
menambahkan, pemenang pilpres yakni Jokowi-JK sudah berkomitmen untuk
membangun kebersamaan sesama anak bangsa dengan seluruh pihak.
Dia juga meminta MK menjaga netralitas atas gugatan Prabowo-Hatta.
“Kita harus berprasangka baik bahwa MK punya netralitas, indepensi,
hakim berintegritas serta berpihak pada kebenaran dan objektivitas.”
Bahkan Sri Sultan Hamengku Buwono X menyerukan kepada dua kubu
pasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK menjadikan momentum Lebaran untuk
melakukan rekonsiliasi dan meredakan ketegangan akibat pilpres.
“Kami harap persoalan pemilu cepat selesai dan mendorong rekonsiliasi
dua pihak dengan segera,” kata Sultan. “Proses ke MK juga perlu
dipandang sebagai salah satu jalan rekonsiliasi secara konstitusional,
sebab gugatan tim Prabowo ini untuk membuktikan dugaan kecurangan.
Dengan demikian, kubu Prabowo bisa mendapat kejelasan.”
Rekonsiliasi pasca-pemilu juga dijadikan tema shalat Idul Fitri yang
diikuti 20 ribuan warga Yogya. Dalam khotbahnya Ustad Jawahir Thantowi
mendesak para elit politik menjadi teladan rekonsiliasi agar diikuti
masyarakat.
“Sudah waktunya para elit politik berlaku terhormat dan bermartabat
dengan memulai rekonsiliasi,” katanya sambil menambahkan, rekonsiliasi
nasional bisa terwujud jika para elit politik bersikap legawa. “Demi
perdamaian dan persatuan.
“Dalam pidato politiknya pasca-pengumuman hasil pilpres, Jokowi
menyatakan kemenangannya dengan JK merupakan kemenangan seluruh rakyat
Indonesia. Perjuangan mencapai Indonesia yang berdaulat, berdikari dan
berkepribadian masih panjang. “Perbedaan politik tidak akan menjadi
pemisah di antara kita,” katanya.
Seperti, kata Jokowi, perbedaan dalam sebuah demokrasi merupakan
sesuatu yang lazim. Namun, dia menyerukan kepada seluruh bangsa
Indonesia untuk bersatu pasca-pilpres ini.
0 comments:
Post a Comment