equityworld futures pusat
Thursday, April 30, 2015

Thursday, April 30, 2015
Setelah melewati proses yang cukup panjang, terpidana mati Mary Jane Veloso lolos dari eksekusi mati. Warga negara Filipina ini batal dieksekusi mati di Nusakambangan di saat-saat akhir pada hari Rabu, 29-April-2015.
Adalah Kejaksaan Agung yang secara resmi membatalkan eksekusi mati terhadap terpidana narkoba asal Filipina, Mary Jane Voloso di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Sontak, Filipina langsung bersuka cita dengan keputusan Presiden Jokowi kali ini. Pemerintah di negeri yang dipimpin Benigno Aquino III itu menganggap batalnya eksekusi atas Mary Jane merupakan keajaiban.
Informasi yang disampaikan sejumlah televisi yang mengulas eksekusi mati termasuk Kompas TV, eksekusi mati hanya dilakukan terhadap delapan terpidana mati kasus narkoba. Sebenarnya total ada sembilan terpidana mati.
Presiden Jokowi mengabulkan permohonan pemerintah Filipina untuk menunda eksekusi mati Mary Jane. Di saat-saat terakhir ketika rekan-rekannya sesama terpidana mati digiring ke lapangan tembak, Mary tetap tinggal di LP Besi sebelum akhirnya dibawa keluar dari Nusakambangan dan dipulangkan ke Lapas Wirogunan, Yogyakarta, Rabu dini hari (29/4)
Direktur Eksekutif lembaga advokasi buruh migran Migrant Care Anis Hidayah menyatakan, penundaan eksekusi terhadap Mary Jane merupakan sebuah poin penting bagi negara mana pun yang menganut prinsip proses penegakan hukuman mati tidak boleh dilakukan serampangan.

"Korban yang semestinya dilindungi harus dipastikan tidak dieksekusi mati," kata Anis kepada CNN Indonesia.
https://aws-dist.brta.in/2015-04/e9fd7835411d4d0fa4e794e26f65586e.jpg

Untuk memperjuangkan nyawa Mary Jane, Anis mendatangi langsung Presiden Jokowi ke Istana Kepresidenan, Selasa (28/4), tak berapa lama usai ia mendengar perekrut Mary Jane yang menjebaknya membawa tas berisi narkoba menyerahkan diri ke Kepolisian Filipina.
Anis menemui Jokowi bersama rekannya dari Migrant Care, Wahyu Susilo, juga beberapa kawan dari Konfederensi Serikat Buruh Migran Indonesia. Mereka diterima langsung oleh Jokowi. Sang Presiden kemudian bertanya mengenai informasi penyerahan diri perekrut Mary Jane.

Jokowi dan para aktivis buruh itu kemudian terlibat diskusi serius. Anis bercerita mengenai buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati di luar negeri. Betapa beberapa kasus di antara mereka sama persis seperti yang dialami Mary Jane, yakni terjebak ke dalam sindikat perdagangan narkotik dan manusia internasional.
Menurut Komnas Perempuan, Mary pergi merantau ke luar negeri dari desa kelahirannya di Caudillo --sebuah desa di pinggiran kota Cabanatuan, Nueva Ecija, Filipina, di mana mata pencarian utama penduduknya adalah petani-- untuk mencari nafkah.

Mary sendiri memang berasal dari keluarga petani. Orangtua Mary, Cesar dan Celia Veloso, bekerja di perkebunan gula. Sesekali mereka mengumpulkan dan menjual barang bekas. Mereka miskin dan punya anak banyak.

Dengan latar belakang itu, bekerja di luar negeri sebagai buruh migran tampak seperti masa depan paling menjanjikan bagi anak-anak keluarga Veloso. Mary Jane dan saudara-saudaranya ingin mengubah nasib dan memutus rantai kemiskinan keluarga mereka.

Namun Mary tidak berhasil melanjutkan sekolah. Dia hanya mengenyam pendidikan hingga tahap menengah pertama lalu keluar karena tidak punya biaya. Keinginan untuk membebaskan keluarga dari kemiskinan dan rasa frustasi akan 'kutukan' kemiskinan keluarga justru berujung tragis.

Mary yang diajak oleh tetangganya, Maria Kristina Sergio, untuk mencari pekerjaan di Malaysia, justru ditangkap di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta, karena kedapatan menyelundupkan 2,6 kilogram heroin di dalam tas yang diberikan oleh Kristina.

Anis dan rekan-rekannya di Migrant Care mengatakan betapa kisah serupa banyak dialami oleh para tenaga kerja Indonesia yang juga merantau ke luar negeri. Beberapa dari mereka akhirnya juga dieksekusi mati di luar negeri.

Itu sebabnya Komnas Perempuan, Migrant Care, dan lembaga advokasi buruh lainnya gigih memperjuangkan Mary Jane agar lolos dari algojo. "Kami sampaikan ke Presiden contoh kasus-kasus TKI yang terjebak narkotik di luar negeri," kata Anis.

Mendengar cerita-cerita itu, ujar Anis, Presiden balik bertanya, "Bagaimana kalau semua punya dalil korban narkoba?"

Kepada Migrant Care, Presiden juga menekankan dampak narkoba sangat besar bagi bangsa Indonesia, bahkan banyak korban sampai meninggal dunia. Oleh karena itu Presiden semula berkeras eksekusi mati harus tetap dilakukan atas dalil apapun.

Namun Anis tak menyerah. "Saya menyela Pak Jokowi dan berkata 'Kalau mereka korban terus bagaimana?'" kata Anies mengulangi ucapannya ke Jokowi. "Saat itu saya sampai nangis menceritakan betapa sulitnya perjuangan menyelamatkan nyawa buruh migran di luar negeri yang menjadi korban," kata Anis.

Pertemuan aktivis buruh migran dengan Jokowi kemarin tidak menghasilkan kesepakatan apa pun. Mereka hanya berdialog. "Presiden saat itu diam saja mendengarkan, tetapi dia juga merasa sedih dengan eksekusi mati," kata Anis.

sumber: http://www.lintas.me/go/cnnindonesia.com/cerita-soal-mary-jane-ke-jokowi-anis-migrant-care-menangis
Apapun ketika pemerintah Filipina akhirnya mengajukan kembali permohonan resmi di saat-saat terakhir menjelang eksekusi agar Presiden Jokowi dapat menunda eksekusi Mary demi pengungkapan kasus perdagangan manusia, Jokowi akhirnya mengabulkannya.

0 comments:

Post a Comment